HARGA SEGENGGAM SUARA (Bag. I)

CAPT : Tenggorokan yang disumbat [sumber : pixabay.com]

Tanpa sadar, kaki Klin bergerak. Tapi tiba-tiba ruangan menjadi gelap. Setelah itu, lampu sorot memuntahkan cahaya pada sebuah kursi yang di atasnya duduk seorang wanita elegan nan cantik jelita. Tampak jemari tangannya yang lentik, memasukkan sebutir permen pelegah tenggorokan ke dalam mulutnya yang manis. Lalu matanya pun bermain dengan begitu seksi. Seusai berdehem sebagai tanda bahwa dirinya telah sangat bergairah, dia mendorong suaranya keluar, menggelinding di dalam ruang. Indah sekali. Wanita itu seperti bernyanyi. Kata-katanya menguraikan cita-cita yang sangat manis dan membuai para hadirin. Intonasi suaranya terdengar seperti sedang menjual janji. Klin sangat jatuh hati”

SALAKAN POST, SALAKAN – Hari itu, Klin sangat kagum menyaksikan orang-orang menumpahkan sejumlah gestur tubuh, mimik wajah, dan entah apa lagi, sebagai ungkapan jiwa manusia yang sesungguhnya. Mungkin semangat atau unsur lain yang membuktikan kemuliaan mereka. Tapi sayang… gestur tubuh, mimik wajah, dan entah apa lagi itu, tak cukup menjadi bumbu untuk melengkapi keutuhan ungkapan keberadaan mereka. Sebab dari balik selembar kaca jendela tempat pandangan Klin menembus ke dalam ruangan, tak sedikit pun suara bisa ditangkap. Tak sedikit pun. Seakan ruangan itu dilapisi oleh tembok dan jendela-jendela yang mampu membendung apa pun agar tidak terhempas keluar, atau seakan dibuat untuk menyimpan rahasia.

Seandainya dari balik selembar kaca jendela, kata-kata yang keluar dari orang di dalam ruangan menjangkau gendang telinganya, tentu Klin merasa akan mendapatkan pemandangan paripurna. Sebab yang sesungguhnya dari pemandangan itu bukan penampilan, tapi arti kata-kata. Atau tafsir yang membuat orang-orang tampak menyatu dengan segala emosi yang ditumpahkan, hingga mampu mewarnai ruangan menjadi demikian mewah, hidup, tegas, dan gembira.

Klin tahu bahwa kata-kata itu menegaskan setiap gagasan yang hendak diutarakan. Tapi di balik kaca jendela, semuanya menjadi mentah karena tanpa suara.

Sebab demikian penasaran, Klin mencari ide untuk menjangkaunya.

Dia menuju pintu ruangan. Lalu sengaja menjatuhkan sapu dari genggaman tangannya dua jengkal tepat di depan pintu, menunduk mengambilnya, lalu berusaha menajamkan pendengaran. Tapi sejauh apa pun dia berusaha, Klin tak bisa menjakau apa-apa, hingga dia segera berdiri untuk melanjutkan tugasnya yang menumpuk.

Saat menyadari ada kesempatan lagi, didorong rasa penasaran yang tak tertahankan, Klin sengaja menjatuhkan lap di bawah pintu. Pura-pura berjongkok memungutnya. Lalu mencoba memanjangkan pendengaran. Tiba-tiba pintu terbuka. Tampak seorang wanita nan jelita. Kecantikan yang lantas menjadi kotor sebab setitik noda curiga. Yang dipahami Klin sebagai tanda bahwa tindakannya, mencuri dengar itu tak pantas dilakukan, apalagi oleh seorang babu.

“Atas dasar perbuatan tidak terhormat ini, kamu bisa dipecat!” kata wanita itu dalam bayangan Klin.

Tapi sebenarnya wanita itu tersenyum. Lalu berkata, “Bisa tolong ke supermarket di sebelah, Pak? Saya butuh permen pelegah tenggorokan. Itu lho, Pak. Permen yang kalau dimakan bisa bikin suara jadi bagus. Bisa ya… Pliisss.”

Klin memang kaget karena merasa seperti pencuri yang tertangkap basah. Tapi dia lebih kaget dengan penampilan wanita itu yang menggambarkan manusia bermartabat. Berbicara menyiratkan kekayaan intelektual. Intonasi elegan. Memicu seberkas senyuman memahat permukaan wajah Klin sebagai tanda sangat setuju memenuhi permintaanya, sekaligus membalas senyumannya.

Klin segera ke minimarket. Dia menemukan beberapa merek permen pelegah tenggorokan. Dia bertanya pada kasir mana permen yang paling bagus. Kasir memberikan penjelasan. Setelah menimbang-nimbang, Klin membeli permen paling mujarab.

Keluar dari minimarket, Klin merancang tindakan ketika dia akan kembali bertemu wanita itu. Tentu, Klin akan membuat wanita itu menjawab rasa penasarannya.

“Terimakasih…” kata wanita itu sembari menjulurkan tangan pada Klin yang masih sekitar semeter di hadapannya. Seakan benar-benar mengukur setiap detik kesempatan. Entah karena masalah tenggorokan, atau memang peristiwa di dalam ruangan itu teramat sangat penting sehingga tidak mungkin ditinggalkan.

Dengan begitu, Klin pun sudah sangat siap meluncurkan pertanyaan yang telah diraut ulang-ulang di dalam pikirannya. Hingga saat wanita itu telah menerima permen, Klin langsung bertanya, “Apa yang dilakukan orang-orang di dalam?”

Wanita itu menatap wajah Klin sejenak, seakan tidak percaya pertanyaan demikian dilontarkan pria di hadapannya. Meski demikian, wanita itu menjawab. Bukan karena pertanyaan itu harus dijawab, atau penting untuk dijawab. melainkan karena sang wanita merasa telah berhutang jasa. “Anda tidak akan paham meski saya jelaskan. Intinya ini tentang masa depan bangsa dan negara. Tentang cita-cita.”

Betapa jawaban itu sangat membuat Klin semakin takjub.

“Kembaliannya ambil saja.” kata wanita itu lagi sebelum menutup pintu rapat-rapat.

Karena jawaban top itu, Klin tak menyadari sesuatu. Dan entah karena apa yang teramat sangat penting, wanita itu pun tak menyadari sesuatu yang sama. Bahwa permen yang baru saja diterimanya ialah barang yang dibeli menggunakan uang Klin.

“Apakah Mama masih ingat, apa cita-cita saya di waktu kecil?” tanya Klin.

Adilah, ibu kandung Klin, wanita jompo yang entah sudah berapa puluh tahun umurnya, tampak berpikir saat mendapat pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak lagi mampu diproses secara sempurna di dalam otaknya yang telah banyak kehilangan kemampuan. Apalagi untuk mencungkil masa lalu yang sudah cukup dalam tertimbun. Tapi apalah artinya masa lalu, bahkan kenangan, jika memang tak lagi dapat diungkapkan dengan kenyataan yang melingkupi hidupnya hari ini? Apalah artinya kenangan, jika Adila masih bisa melihat anaknya sudah dewasa dari butir-butir keringat usahanya sendiri selama ini?

“Saya lupa cita-cita saya sendiri.” kata Klin.

“Atau sebenarnya kamu tidak punya cita-cita?” tanya Adila lagi.

“Saya lupa.”

Mendengar pengakuan anaknya, Adila kaget, sebab dia mengira bahwa mungkin itu yang membuat anaknya menjadi babu. Bukan menganggap pekerjaan itu tidak pantas. Tapi di sepanjang usia, Adila tak pernah menemukan manusia yang sangat ingin menjadi seorang babu. Kecuali mungkin pada orang yang tak punya cita-cita. Seperti Klin.

Walau demikian, dan babu adalah status yang tak cukup anggun, sebab kadang materi menjadi tolak ukur dalam menilai sesuatu, Adila merasa bahwa anaknya tidak sedang berada di jalan yang salah. Seperti kata suaminya, bahwa tak selamanya kemuliaan seseorang dilihat pada pekerjaannya, tapi pada tanggung jawabnya pada pekerjaan itu.

Jika cita-cita adalah gambaran kemewahan unsur kemanusiaan yang ada dalam diri seseorang, maka menjadi babu pun sesungguhnya bagian dari cita-cita itu sendiri.

Demikian alasan yang selalu menjadi energi Adila, melihat Klin bekerja, meski sebagai babu, tapi bertanggung jawab. Sebab selama Klin bekerja dan bertanggung jawab, selama itu pula anaknya bahagia.

Tapi benarkah Klin bahagia?

Di usia senja, Adila menyadari memorinya lepas satu demi satu meninggalkan tubuhnya. Tapi dia selalu berusaha semampu mungkin menanam ingatan tentang anaknya di dalam rongga kepalanya agar setiap waktu bisa mencermatinya. Dengan demikian bisa memastikan kebahagiaannya.

Tapi tak banyak yang bisa dilakukan Adila, apalagi dalam hidup yang serba terbatas. Demi menyederhanakan semua itu, jika ada sedikit rezeki, Adila selalu berusaha membuat kangkung tumis, ikan goreng, dan nasi putih. Dari kecil, makanan itulah yang menjadi salah satu alasan Klin merasa senang di saat-saat sulit.

Siapa sangka, kangkung tumis buatan ibunya yang dari kecil menyulam kebahagiaan itu, membuat Klin menemukan definisi sesungguhnya dari sebuah makanan.

Klin menyadari itu, saat makan di sebuah warung yang terkenal dengan kelezatan kangkung tumisnya. Kelezatan yang memang diakui pula oleh Klin. Namun bagi Klin yang telah demikian melimpah menyimpan kenangan dengan kangkung tumis buatan ibunya, tidak pernah benar-benar terjatuh dalam kelezatan itu. Meski sebenarnya kangkung tumis buatan ibunya memiliki rasa yang lebih sederhana.

Bahwa ternyata, yang paling nikmat dari sebuah rasa ialah ketika lidah dapat menyerap segumpal kenangan dari makanan. Meski sangat sederhana, namun dapat diuraikan menjadi kisah menarik yang pernah terjadi dalam hidup seseorang. Dan dalam hidup Klin, kisah itu adalah ibunya.

“Oke… apakah hari ini kita akan makan kangkung tumis, ikan goreng, dan nasi putih buatan Mama?” tanya Klin dengan sangat gembira.

Adila menjawabnya dengan senyuman. Untuk kesekian kali di malam yang sunyi di rumah itu, Adila merasa kebahagiaan di dalam dirinya kian bertumbuh.

Klin menggenggam gagang pintu ruangan itu, memutarnya, lalu mendorongnya hingga pandangannya dan pendengarannya menjangkau beberapa hal yang telah membuatnya begitu penasaran. Ada sekian kursi dengan struktur sedemikian rupa sebagai strategi menghasilkan keteraturan. Beberapa buah bohlam dengan kapasitas cahaya, letak, jarak, dan entah apalagi benar-benar dalam ketentuan yang menampakkan kemegahan. AC yang terpasang di beberapa titik semakin membuat suasana tidak main-main. Dan entah perlengkapan apalagi, telah benar-benar nyata menggambarkan satu segmen kehidupan manusia yang demikian serius, mulia, indah, dan lain-lain.

Tanpa sadar, kaki Klin bergerak. Tapi tiba-tiba ruangan menjadi gelap. Setelah itu, lampu sorot memuntahkan cahaya pada sebuah kursi yang di atasnya duduk seorang wanita elegan nan cantik jelita. Tampak jemari tangannya yang lentik, memasukkan sebutir permen pelegah tenggorokan ke dalam mulutnya yang manis. Lalu matanya pun bermain dengan begitu seksi. Seusai berdehem sebagai tanda bahwa dirinya telah sangat bergairah, dia mendorong suaranya keluar, menggelinding di dalam ruang. Indah sekali. Wanita itu seperti bernyanyi. Kata-katanya menguraikan cita-cita yang sangat manis dan membuai para hadirin. Intonasi suaranya terdengar seperti sedang menjual janji. Klin sangat jatuh hati.

Sayangnya, itu hanya mimpi. Klin terbangun.
*

Entah karena kekuatan apa yang menyusup dari kata-kata wanita itu sampai masuk ke dalam mimpi, hingga Klin merasa sangat perlu seorang manusia, termasuk dirinya untuk mempunyai cita-cita.

Klin membayangkan menjadi seorang pengusaha dengan hidup bergelimang harta. Tapi meski sangat menggoda, Klin tidak yakin bahwa itu adalah cita-citanya. Bahkan Klin telah membayangkan sekian cita-cita lain, namun dia tak mendapatkan satu pun dari semua itu ialah pilihan yang masuk dalam kategori cita-citanya.

Saat masih kecil, ketika ditanya tentang cita-cita, Klin menyebut cita-citanya dengan sangat mudah. Jadi apakah sebenarnya Klin punya cita-cita? Dan semudah itukah cita-cita menjadi sebuah ucapan? Bukankah sebaiknya cita-cita tidak hanya mudah diucapkan, tapi juga ketika disebutkan menghadirkan kebahagiaan?

Klin berangkat ke tempat kerja dengan kepala pusing.

Di pantri, Klin bertanya pada rekan kerjanya, “Apa cita-citamu, Men?”

Rekannya yang baru saja terbatuk-batuk itu menjawab, “Waktu kecil saya ingin menjadi polisi. Sudah besar mau jadi menteri. Kuliah ambil jurusan ekonomi. Tamat malah jadi babu. Apalah artinya cita-cita. Hanya buang-buang waktu untuk berpikir.”

Klin bingung.

“Tidak usah bingung. Intinya tidak selamanya seseorang akan menjadi sesuai cita-citanya.”

Klin tambah bingung.

Temannya itu terbatuk-tabuk lagi sebelum menjawab, “Begini, Klin, saya ini sarjana, dan itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya sekarang. Dan kamu lihat, coba perhatikan baik-baik siapa orang-orang yang kita layani setiap hari, disuruh itu dan ini. Bahkan sebagian mereka hanya tamat SMA. Bos kita… iya bos kita. Dia itu tidak tamat SMP.”

Klin tambah bingung lagi.

“Kalau kamu, Klin, apa cita-citamu?” tanya temannya lalu terbatuk-batuk lagi.

“Kemarin saya disuruh seorang wanita beli permen pelegah tenggorokan. Mungkin itu bisa mengatasi batuk-batuk juga.”

“Apa namanya?”

“Apa ya?”

“Tadi kamu bilang wanita. Wanita yang mana?” tanya temannya lalu terbatuk-batuk lagi.

Klin menyebutkan ciri-cirinya.

“Oh itu si anu… saya lupa namanya. Tapi saya tahu, dia orang penting.” kata temannya lagi lalu terbatuk-batuk lagi.

Kemudian temannya menguraikan banyak hal, dari mulai tentang wanita secara umum hingga hal-hal lain yang berada di luar jangkauan logika Klin. Seakan temannya menemukan substansi paling lezat untuk dibicarakan. Dan semakin temannya membuka mulut, Klin membayangkan jika kata-kata temannya ialah kata-kata yang juga diucapkan oleh wanita itu di dalam mimpinya. Indah hingga membuat Klin seperti terhipnotis. Tapi entah bagaimana, Klin masih tak memahami satu pun bunyi yang keluar. Apakah demikian sulit menggapai cakrawala pengetahuan orang berpendidikan?

Karena penasaran, Klin bertanya kembali untuk menegaskan cita-cita temannya itu. Sebab segala yang disemburkan, menunjukkan bahwa temannya mempunyai cita-cita yang tidak main-main.

“Saya ingin seperti wanita yang kamu ceritakan itu.”

Klik terbebelak. Merasa jawaban atas rasa penasarannya selama ini akan terungkap.

“Jangan kaget begitu. Saya tidak akan ganti kelamin menjadi seperti wanita itu. Saya…” kata temannya sebelum terbatuk-batuk lagi.

Lalu pria yang duduk di hadapan Klin yang hanya dipisahkan sebuah meja kecil itu menghamparkan dan menjelaskan setumpuk kemuliaan, yang diukur Klin sebagai substansi gemilang yang juga merupakan ungkapan jiwa wanita itu.

Betapa Klin bahagia mendengarnya. Betapa sangat bahagia. Apakah itu berarti Klin mempunyai cita-cita yang sama dengan wanita itu?
Bersambung ke Bagian II

HLK : Penulis adalah alumni Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitasn Negeri Gorontalo tahun 2009

Pos terkait