PULANG KE PUCUK-PUCUK TERUMBU KARANG

Foto Ilustrasi Cerpen

Sebuah Coretan yang dikirim dari Desa Tikong, Taliabu.


Lummu benar-benar sangat tegang saat sebuah perahu lepa yang dilengkapi layar biru tampak dari kejauhan merobek lautan. Dirinya yang dipenuhi sekian kekosongan dan kehampaan, tiba-tiba diisi sebongkah harapan yang besar.

Perahu itu bertaut di tangga rumah beberapa jam kemudian. Mama segera mendekat ke sana. Dan sebelum dapat mengeluarkan sejumlah kata yang sejak tadi tergenang di kepalanya, orang yang membawa perahu sudah memberikan kabar yang ditunggu-tunggu itu padanya, “Dia ditahan di kantor polisi.”

Mama terpaku, dan seluruh pikirannya yang terpahat menjadi gagasan yang tak sempat diungkapkan itu, seakan tergelincir lebih jauh masuk ke dalam tenggorokannya. Diisap kesedihan.

Lummu juga sedih karena mengerti bahwa itu bukan berita yang baik untuk dicermati dirinya sendiri. Meski matahari tak lagi menyengat, tubuhnya yang hitam legam bagai terbakar percikan cahaya senja. Tubuh dengan segala gumpalan perasaannya perlahan-lahan luruh dalam gelap malam, yang semakin membuat suasana membeku di tengah laut itu.

“Mengapa? Mengapa dia ditahan?” tanya Mama, setelah berusaha mengalahkan kesedihannya.

Tapi pertanyaannya, dan apalagi kegelisahan dan semua isi perasaanya tak mungkin bisa dijawab oleh siapa pun yang ada di sini.

Hujan pun turun membuat hari ke 10 tanpa Bapak, di kampung terapung itu pun semakin genap dengan penantian.

Wanita itu hanya dapat membayangkan wajah suaminya. Wajah laki-laki Bajau. Dengan sepasang sinar mata yang penuh tekat. Lalu seakan kembali mendengar kata-katanya, “Kita tidak bisa diam. Kalau mereka kembali, saya akan lawan. Apa pun risikonya.” dengan emosi yang membara.

Wanita itu berdebar. Dia tahu suaminya. Dan kata-kata yang melenting dari lidahnya, sungguh tak sekadar kata-kata.

Dan benar, beberapa hari kemudian, saat orang-orang itu muncul lagi, tampak beberapa ratus meter di kejauhan sana, suaminya cepat-cepat mendayung di atas sampan untuk menemui mereka. Di saat itulah, baru beberapa dayung dihempaskan ke laut, tiba-tiba dentuman bom memecah angkasa. Entah dentuman ke berapa setelah hari-hari sebelumnya. Menggema mencakar-cakar langit. Meledak mencabik-cabik laut.

Pria itu pepan-pelan berdiri di atas sampannya dengan tubuh dipenuhi sejumlah murka. Tatapan matanya menikam setiap orang-orang yang menurutnya sudah bukan manusia lagi. Apa yang tampak dan terdengar menjadi kejahatan bagai telah merampas bagian dari hidupnya yang telah sekian tahun akar-akarnya menghujam ke dalam dirinya.

Entah sudah berapa kali orang-orang itu meledakkan bom di sana, mengambil berton-ton ikan, membawanya pergi, lalu meninggalkan hamparan kehancuran, serta kematian mengenaskan bagi karang-karang yang telah sekian tahun berusaha tumbuh mewujudkan harmoni kehidupan ekosistem di sana.

Benar-benar tindakan yang sangat tak dapat diterima. Hingga akhirnya, laki-laki yang besar dari buaian lautan itu berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin tenaga untuk menyerang.

Beberapa saat kemudian, perkelahian pun terjadi. Bagi laki-laki itu, pertanyaan yang berusaha mencari akhir dari menunggu, itu tidak akan pernah ada, apalagi setelah orang-orang diberi peringatan berulang-ulang. Siapa pun dengan latar belakang apa pun boleh ke laut, dan mengambil berapa pun dari laut. Tapi jika semua itu dilakukan dengan tanpa kejujuran, apalagi dengan memberikan luka pada lingkungan, dia tak bisa diam.

Tapi setelah semua yang telah dia upayakan, tak ada satu pun orang di desa terapung yang menyangka bahwa keesokan harinya dua orang berseragam militer datang, menjemput pria itu, pergi tenggelam di balik ujung cakrawala.

Waktu itu Lummu tak paham, tak mengerti dengan semua yang telah terjadi. Tapi kepergian Bapak hari itu, membuat dirinya mulai memahami sebuah sentuhan kehilangan, seperti ucapan Bapak beberapa bulan yang lalu.

“Laut adalah rumah kita. Dan sebagaimana sebuah rumah yang harus dirawat agar memberikan manfaat, demikian yang harus kita lakukan pada laut.”

Kemudian Bapak memperlihatkan hamparan terumbu karang yang sangat menakjubkan. Berharap pemandangan mengerikan itu melebur ke dalam diri anaknya, demi memancing empati, kesadaran, harapan, semangat untuk mempertahankan laut dari siapa pun yang hendak merusaknya.

“Tapi apakah semangat dan semuanya itu berarti harus membuat Bapak tak pulang-pulang?” pikir Lummu.

*

Bapak pernah hampir tewas, saat menyelam mencari teripang menggunakan kompresor. Itulah alasan yang membuat dirinya memutuskan merantau ke Gorontalo lalu akhirnya kembali ke desa terapung sebagai seorang nelayan sederhana. Berbaur dengan 26 warga lainnya, di antara rumah-rumah yang ditopang tiang sekian meter, berlantai bambu, berdinding papan, dan beratap rumbia. Menyerap setiap langkah kehidupan sederhana. Memperoleh kekayaan laut dengan tanpa menyumbang satu pun kebusukan keserakahan. Lebih jauh, pilihan itu sebagai cara paling masuk akal mewarnai hatinya dengan titik-titik kebahagiaan.

Apakah mungkin, seseorang harus melihat gambaran kematian di dalam dirinya, sebelum mampu memahami pilihan ideal bagi kehidupannya sendiri, lalu memperoleh makna sesungguhnya sebuah kebahagiaan?

Saat turis berkunjung ke desa terapung, lalu Bapak ditanya mengapa memilih tinggal di atas laut yang berada di luar akal banyak orang, maka peristiwa hampir mati itulah yang menjadi jawabannya. Tapi lama-lama, pengalaman di Desa Terapung telah memberikan tempat yang luas di dalam kehidupan Bapak, hingga sesungguhnya jawaban atas pertanyaan itu tak sesederhana demikian.

Bagi mereka, orang-orang yang hidupnya terpaut di darat, menggantung rumah di atas laut adalah kenyataan yang sulit untuk diterima. Tapi bagi Bapak dan Suku Bajau lainnya, demikian seharusnya hidup berjalan. Tak ada yang benar-benar sulit di dunia ini, selain memaksa orang untuk hidup tidak dengan pilihan Allah untuk kebaikan hambaNya sendiri.

Suatu hari, Bapak, Mama, dan Lummu ke Pulau menggunakan perahu katinting untuk mengambil air dan kayu bakar. Mereka melakukannya setiap tiga pekan sekali.

Di bibir pantai saat semua pasokan kebutuhan telah dimasukkan ke dalam perahu, Mama bertanya, “Apakah mungkin suatu saat kita akan tinggal di pulau?”

Kata-kata yang memantik keraguan. Tapi wajar, sebab Mama memang lahir di darat dan dibesarkan di darat, dan sebelumnya benar-benar tak pernah membayangkan hidup di atas air. Bapak-lah yang membuat hidup Mama kini tak lagi seperti dulu. Hingga jika hari ini Mama kembali bernostalgia, bahkan ingin menyeret hidupnya kembali ke habitat sebelumnya, Bapak harus memberikan jawaban, sesungguhnya sebuah jawaban untuk kembali menyakinkan istrinya itu akan pilihannya.

“Meski tampak tak punya apa-apa di atasnya, laut menimbun begitu banyak alasan untuk tetap tidak meninggalkannya. Seperti kamu.” jawab Bapak seakan membeberkan kenyataan di dalam hatinya, sembari menikmati tiupan angin, kemudian menghempaskan napas.

Mama tersenyum. Bahagia tentu saja. Dulu kulitnya tampak sangat bersih dan putih. Kini, meski telah sekian ribu kali menggunakan bedak beras, laut tetap punya cara menyulam rona di wajahnya. Dan di antara dua wujudnya itu, suaminya tak pernah berubah memberikan pengertian pada hubungan mereka. Atau jika tak berlebihan, bahkan laki-laki itu semakin mencintainya.

“Lummu!” panggil Mama pada anaknya yang tampak sangat serius bermain pasir, “Ayo pulang!”

Bukan sekadar kembali ke desa terapung, tapi pulang dalam arti yang sentimental sebagai kesimpulan dari bukti-bukti perjalanan hidupnya selama ini dengan keluarga kecilnya itu.

*

Ini hari 20 Lummu menunggu, setelah menuntaskan penantian di hari-hari sebelumnya yang membuat hatinya terbelah dan mengeluarkan seluruh perasaannya pada Bapak.

Mama telah berulang kali memberikan pengertian pada anaknya itu. Tapi akhirnya perempuan itu tak mampu membendung gejolak batinnya sendiri, tak bisa menahan kerinduan dan kesedihannya sendiri.

Dia menyodorkan Lummu sepiring papi dan sepotong ikan pindang terakhir yang dipanah suaminya beberapa hari yang lalu.

“Bapak di mana?” tanya Lummu sambil menatap wajah Mama berharap mendapatkan jawaban yang sesungguhnya.

Tapi lagi, di desa terapung seakan tak ada pertanyaan yang akan sungguh-sungguh dapat dijawab. Mama hanya memberikan sedikit pengertian, menawarkan penantian, menambah tumpukan kesedihan.

Lummu terdiam. Membayang sebuah kejadian, saat-saat dia tak pernah merasa sendirian.

“Atur napas… turun pelan-pelan…” kata Bapak ketika itu.

Lummu tahu, kata-kata orang tuanya itu adalah penegasan bahwa dirinya telah memasuki babak yang serius di dalam hidupnya sebagai seorang pria yang mewarisi darah Suku Bajau. Penegasan untuk memahami laut dalam makna yang sesungguhnya.

Setelah menyerap minyak kejantanan yang menyala dari dalam kelopak mata Bapak, Lummu tambah mengerti akan posisinya sekarang. Tapi tetap saja kegugupannya tak teratasi, sebab ini adalah pertama kali.

Kemudian akhirnya Lummu menggunakan kacamata selam carumming. Menarik oksigen sebanyak mungkin dan mengumpulkan keberanian ke dalam dirinya untuk menambal mentalnya yang terganggu. Lalu pelan-pelan membuat seluruh tubuhnya menembus  genangan air laut. Membuat putaran hingga posisi kepalanya beberapa derajat mengarah ke bawah. Membuka mata. Menikmati setiap lembaran cahaya yang membuat nalurinya bekerja lebih cepat, meluncur lebih mudah, menentukan arah dengan benar. Dan yang menambah kegiatan menyelam itu menjadi demikian mewah ialah hamparan terumbu karang yang memuntahkan pesona yang sungguh tak terukur keindahannya, serta ratusan atau mungkin ribuan ikan di sana. Semakin Lummu luruh ke bawah laut dengan kepakan tangan dan kakinya, semakin dekat, keindahan itu semakin terpancar jelas.

Tapi tiba-tiba pendengarannya berdesing. Seakan gendang telinganya terlalu dipaksa bekerja melampaui batas kemampuan. Membuat konsentrasinya goyah dan napasnya berantakan.

“Coba lagi!” kata Bapak ketika Lummu muncul di permukaan.

Setelah mengulang persiapan seperti semula, Lummu kembali ke bawah laut. Berusaha mencapai kedalaman maksimal. Berusaha dan berusaha. Tapi di tengah usahanya itu yang telah banyak menguras tenaga, dia memutuskan kembali ke permukaan lagi.

“Panah mana?” kata Lummu pada Bapak.
“Jangan kembali sebelum mendapat ikan!” kata Bapak sembari menyodorkan panah baccika kecil buatan tangannya sendiri untuk anak satu-satunya itu.

Bapak sendiri pun akhirnya menyelam dengan sepotong baccika yang telah menemani dirinya selama puluhan tahun. Hendak menunjukkan pada anaknya bagaimana menjadi pria Bajau yang sesungguhnya. Bagaimana benar-benar menjadi manusia yang benar-benar menyatu dengan laut.

Melihatnya, Lummu semakin bersemangat. Tapi beberapa meter di bawah laut, di hadapan hamparan karang, dan seekor ikan yang telah dikunci sebagai sasaran bidikan, tiba-tiba dia merasa belum siap. Ada gelombang ketakutan menghantam jiwanya, hingga seluruh amunisi dalam tubuhnya hancur. Lagi-lagi dia kembali ke permukaan dengan hampa.

Beberapa menit kemudian Bapak muncul membawa seekor ikan besar. Setelah mengamankan ikan itu ke dalam lepa, Bapak menguraikan ketakutan yang juga pernah dirasakan dirinya sendiri. Ketakutan yang akan terus menjadi ketakutan, jika Lummu tak berusaha menyelesaikannya oleh dirinya sendiri.

Lummu tak akan pernah melupakan hari itu, sama seperti Lummu tak akan pernah melupakan ketika memancing ikan bersama Bapak, berkali-kali, setiap hari, di tengah panas mentari atau hujan mengguyuri.

Tiba-tiba, untuk kesekian kali Lummu menyadari kedatangan sebuah lepa. Bukan Bapak. Tapi orang lain yang sebulan sekali ke kampung terapung untuk membeli ikan.

“Di mana Bapak?” tanya Lummu kembali pada Mama.

Setelah mengangkat setengah karung ikan asin yang telah dikumpulkan suaminya untuk dijual ke pembeli yang baru saja datang, Mama tak lagi menambah kata-kata yang telah diucapkan sebelumnya. Mama langsung pergi. Membiarkan anak kecil itu mencerna sendiri semua pertanyaan, kehilangan, dan kesedihan yang sepenuhnya tak dapat dimengerti.

*

Hari ke 31 Lummu menunggu, tak lagi dapat digambarkan sekian kesedihan yang mengupas keteguhan hatinya.

Di tengah malam, saat Lummu tertidur, di balik dinding bambu yang berjalin, Mama menangis dalam pancaran cahaya lampu lentera. Cinta, dan entah apa namanya itu, dengan sekian bekas yang menghiasi kehidupan ini, teramat sangat kuat, hingga mungkin harus dileburkan dalam genangan air mata. Tapi apakah itu cukup? Tidak bagi wanita berdarah Gorontalo itu.

Lagi, wajah suaminya muncul.  Lalu dalam sekejab beralih ke wajah ayah dan ibunya 20 tahun yang lalu. Dengan butiran air mata yang terasa baru.

“Ti Nou yakin mau menikah dengan laki-laki Bajo itu?” tanya ibunya, meragukan pria tak jelas dengan segala kenyataan yang ditawarkan untuk menjadi bagian dari kehidupan anak perempuannya. Demikian gambaran sikap ayahnya. Ragu. Sekali lagi… ragu.

Perempuan itu yakin. Entah cinta, atau entah sesuatu yang tak dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri, membuat dia tak bisa menerima keraguan orang tuanya, tak mampu menepis tawaran laki-laki Bajau itu, dan tak sanggup meninggalkannya.

Saat dia dan laki-laki Bajau itu menikah, jelas penyesalan terpancar dari wajah ibunya, seakan anaknya telah melakukan kesalahan yang fatal. Tapi semua itu tak dapat memudarkan pilihan yang telah ditetapkannya, meski akhirnya dia tak dapat menghindari deras nuansa perasaan orang tuanya sendiri.

“Ti Nou yakin akan hidup di laut? Yakin?” tanya ibunya dgn rasa ragu yang lebih kental.

Perempuan itu menangis, menangis, dan menangis. Meninggalkan orang tuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya, meninggalkan kampung halamannya, dan semua isi yang ada di dalamnya, lalu menepi pada hamparan laut jauh di sana, lama-lama akhirnya menorehkan keraguan. Tapi karena dia terlanjur takhluk pada laki-laki Bajau itu, dia berharap mungkin bisa lebih mudah untuk menjalaninya.

Kakinya pun, harus terpaksa melangkah pergi meninggalkan ibu, ayah, dan semuanya tentang Gorontalo.

Di pelabuhan, saat melihat kapal Tilongkabila, perempuan yang tak pernah sekali pun bersentuhan dengan ombak itu merasa sangat gentar.

Ketika telah memijak Kota Luwuk, kapal  kecil yang menanti mereka di bibir Jembatan Batu, untuk perjalanan berikutnya, bagai mengguncang pikirannya pada kengerian yang lebih hebat lagi soal lautan.

Begitu menghempaskan tubuhnya di Jembatan Banggai karena telah demikian lelah, kapal kecil serupa yang akan membawa mereka lagi membuat perempuan itu hampir tak bisa berpikir.

Tiba di desa terapung, dia tak henti-henti mewujudkan rasa syukur.

Mencermati semua pengalaman itu, dia menyadari ternyata sudah sangat jauh dirinya menyatukan hidup dengan suaminya hingga hari ini, melalui jalan panjang bertabur cobaan. Meski tak membuat dia menggapai kesempurnaan, dia tak mau berhenti, bahkan kesedihan demi kesedihan telah menjadi jembatan dirinya mengarungi lautan penderitaan.

Keesokan harinya, hari 32 menunggu, perempuan itu memutuskan menumpang sebuah perahu katinting salah seorang warga desa terapung. Hendak menemui suaminya di sana, mungkin seperti dulu laki-laki itu menjemput dirinya.

Air matanya berguguran lagi. Tapi perempuan itu berusaha tak menggugurkan kesabarannya.

*
Hari ke 33 menunggu.

Lummu dan teman-temannya melompat dari atas sampannya masing-masing ke dalam hamparan laut yang pucat. Tubuh mereka yang dibalut lapis-lapis aroma laut, mengkilat diterpa cahaya matahari pagi. Sejumlah pasang kaki dan tangan anak-anak itu mengepak membuat mereka melaju semakin ke bawah, hingga tiba di kedalaman sekitar lima meter. Lalu dalam sebuah aba-aba yang telah sama-sama dimengerti, mereka berdiri serempak di dasar. Menguji siapa di atara mereka yang napasnya paling panjang.

Satu per satu anak-anak itu naik ke permukaan, hingga menyisahkan Lummu sendirian dengan tubuh bagai masih memiliki banyak udara untuk berdiri beberapa saat lagi. Lalu tiba-tiba matanya di balik carummeng menyadari bahwa dua kakinya sedang berdiri di atas tumpukan karang-karang tak bernyawa lagi. Dan seiring cahaya matahari semakin membias dan mengurai di dalam air laut, tampak sangat jelas sekeliling terumbu karang itu ternyata telah berubah menjadi tumpukan kematian.

Kata-kata Bapak menggema bagai menembus lapisan air, “Laut adalah rumah kita. Dan sebagaimana sebuah rumah yang harus dirawat agar memberikan manfaat, demikian yang harus kita lakukan pada laut.”

Sementara itu, di sudut sebuah ruangan, perempuan Gorontalo itu memandang suaminya yang duduk di hadapannya dengan raut wajah bahagia. Ungkapan nuansa keindahan batin yang mendadak berganti nestapa dengan pertanyaan, “Mengapa kamu ditahan di sini?”

“Apakah Lummu baik-baik saja?” tangkis laki-laki itu.

Istrinya menangis.

“Saya baik-baik saja,” kata laki-laki itu sembari memegang tangan istrinya, seakan mewujudkan sentuhan untuk mengalirkan ketenangan, “Saya tidak satu pun melalukan kesalahan. Saya telah melakukan hal yang sudah seharusnya saya lakukan.”

“Tapi mengapa kamu harus ada di sini?” cecar perempuan itu.

“Ini lebih baik daripada hidup di atas terumbu karang tapi tak bisa melakukan apa-apa.”

Perempuan itu menghapus air matanya begitu melihat ketegaran suaminya. Tapi kemudian perasaan laki-laki itu yang malah bocor memuntahkan kesedihan. Pipinya basah. Genggaman tangannya pada tangan istrinya semakin kencang. Seakan hendak menyerap ketegarannya yang hilang.

“Bagaimana kamu akan memahami dirimu sendiri, saat telah berusaha sebisa mungkin memelihara laut, tapi seakan dirimu sendiri pula yang menghancurkannya?” tanya laki-laki 34 tahun itu di antara tangisannya.

Istrinya termangu.

Suaminya bagai melihat kembali kejadian hari itu. Melihat orang yang membakar bom lalu menghempaskannya ke laut. Orang yang ternyata pernah berlindung dalam rahim yang sama dengan dirinya sendiri. Dia memanggilnya: Kakak!

*

HLK, Alumni Universitas Negeri Gorontalo, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2009

Pos terkait