Pilkada Bangkep : Dilema Antara Money Politik dan Asa Perbaikan Daerah

CAPT : Foto Ilustrasi Pulau Peling Patah

SALAKAN POST, SALAKAN – Harapan sebagian masyarakat Kabupaten Banggai Kepulauan untuk kemajuan daerah pasca Pilkada 2024, kembali melemah setelah isu politik transaksional mulai merebak menjelang pemilu.

Retaknya sikap optimisme masyarakat terhadap hasil Pilkada November mendatang, tidak lepas dari perhelatan politik 2017 yang menciptakan trauma serius hingga kini.

Bacaan Lainnya

Terlebih, aroma money politic di balik pemilihan legislatif Ferbruari 2024 lalu, hingga kini masih kerap menyengat hidung.

Dua kontestasi beruntun itu hampir sempurna mempertontonkan bagaimana politik uang memperkusam gamblangnya karakter warna “Pau Lipu” selama ini.

Belum sembuh dari Korupsi 36 Miliar sebagai konsekuensi logis dari politik transaksional 2017, kini Bangkep kembali dibayang-bayangi oleh gaya perolehan kekuasaan yang sama.

Catatan Bawaslu RI yang memangkalkan Banggai Kepulauan dalam daftar daerah rawan politik uang teratas di level nasional, lagi-lagi mulai mengemuka pada pesta demokrasi November mendantang.  

Artinya, negeri ini masih terbuka banyak ruang untuk para aktor culas memainkan peran antagonisnya demi singgasana kekuasaan.   

Hampir bisa diprediksi seperti apa kondisi daerah berjuluk “Tano Monondok” ini, jika kemenangan legislatif dan Kepala daerah tidak lebih dari kemenangan uang semata.

Diketahui, selain Korupsi, langkah maju Bangkep saat ini masih terbelenggu sekelumit permasalahan pelik, mulai dari masalah sosial, infrastruktur, Lingkungan, pendidikan, dan kesehatan.

Dari segi sosial Banggai kepulauan masih diperhadapkan dengan masalah kemiskinan, peluang kerja, kekumuhan, kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan sebagainya.

Di bidang ekonomi, salah satu soal terbesar adalah kesulitan komoditas pertanian dan perikanan lokal menembus pasar regional dan nasional secara langsung. Buntutnya, pertumbuhan kesejahteraan masyarakat Nelayan dan petani bergerak cukup lambat.

Dari sisi infrastruktur, penyediaan air bersih untuk sejumlah wilayah terutama di Peling Barat sampai saat ini belum maksimal, kualitas jalan, jaringan telekomunikasi, dan sebagainya.

Bahkan daerah ini pun masih diperhadapkan dengan beragam masalah Lingkungan, kesehatan dan lain-lain.

Lalu apakah permasalahan daerah sedemikian parah itu, hanya akan kita barter dengan uang sebesar Rp 500.000 untuk 5 tahun kepada kontestan, aktor politik uang?

Setiap individu dilengkapi hak untuk memilih jalannya sendiri. Namun dalam konteks electoral, ketika hak pilih dibarter dengan uang atau jabatan, maka sesungguhnya pilihan itu telah ikut berkontribusi menciptakan ketimpangan secara luas.

“Pau Lipu” satu-satunya prinsip yang masih bisa jadi pijakan kokoh untuk menyatukan gagasan politik setiap individu yang hidup di tano peling.

Semangat tersebut semestinya kembali dihidupkan di Pilkada Bangkep untuk menegakkan martabat negeri yang sempat kronis digilas politik uang.

Semangat “Pau Lipu” itu pula perlu dibangun untuk menumbuhkan kesadaran individu yang memelihara menentang politik uang di Pilkada Bangkep demi perbaikan dan kemajuan daerah.

Dari situlah “mian banggai” menemukan harga diri sesungguhnya, bahwa tidak semua orang yang lahir di tanah peling, bisa diukur dengan uang.

Jika tidak demikian, maka kita harus mengikhlaskan daerah ini kembali jadi lahan subur tumbuhnya berbagai masalah sosial di kemudian hari, tanpa terkecuali Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.  

“Menolak Politik uang adalah kontribusi terbesar warga negara terhadap perbaikan negerinya sendiri” (Rif)

Pos terkait